Kamis, 20 Juli 2023

 

“Coretan Lama”

Sebelum saya memulai menulis ini, saya ingin seduh segelas kopi sebagai penambah inspirasi. Sambil berpikir mau menulis apa. Karena ketika otak mentok tanpa inspirasi, disitulah kopi menemani.

Di saat kondisi guru zaman sekarang ini, kok sepertinya tidak ada greget- greget amat ya. Pikiran aman, tapi dompet yang mulai tidak aman. Selain itu, beberapa hari ini saya juga mulai jarang membaca buku lagi karena memang padatnya aktivitas saya yang bikin saya lalai untuk membaca buku lagi.

Selain sibuk mengajar, saya juga suka travelling, yang entah hanya menemani teman saya melepas penat, atau memang dari diri saya yang memang penat. Setidaknya saya bisa menyempatkan waktu untuk tetap healing supaya tidak pusing. Memang terkadang ketika healing sedikit mengganggu aktivitas mengajar saya, tapi bagi saya sesekali tidak masalah. Tapi setidaknya saya ga pusing-pusing amat setelah healing itu.

Dalam situasi begini, memilih untuk healing demi menjaga kewarsan diri memang amatlah penting. Tak jarang guru yang pusing dengan masalah di rumah kemudian pelarian kepada siswa, kasihan sekali siswa yang berniat menuntut ilmumalah mendapat perlakuan yang tak semestinya dari guru. Saya pribadi, selama ini, lebih sering healing ketika pikiran telah pusing. Pelarian saya ke tempat yang bagi saya enak di pandang dan membuat fresh kembaliotak serta pikiran, dengan harapan setelah itu saya tetap fokus mengajar dan mendidik.

Kadang dalam kondisi pikiran lagi tidak karuan karena masalah yang lainnya, sangatlah berbahaya bagi kewarasan guru, efeknya bisa ke siswa, atau kerjaan yang semakin menumpuk karena enggan dikerjakan. Namun balik lagi ke masing-masing orang. Ada yang ketika pusing teap di rumah karena mau healing tapi ekonomi sedang pas-pasan, ada juga yang selalu menyisihkan sebagian gaji nya untuk melepas penat setiap minggu atau bulan. Itu hak masing-masing orang, tapi kalau saya pasti selalu menyisihkan dikit demi sedikit.

Dalam kondisi sebaliknya pun, saya saya pernah ketika lelah dengan aktivitas sehari-hari, hanya rebahan dan melakukan ibadah di rumah seharian. Saya bisa membantu ibu mencuci baju, mencuci piirng, dan kerjaan rumah lainnya. Yang bahkan bagi saya hal itu lebih meringankan tugas ibu di rumah. Karena kalau terlalu sering healing pun setelahnya saya punya kerjaan tambahan, yakni cucian kotor menumpuk.

Dulu, zaman saya sekolah, melakukan perjalanan demi melepas penat ketika liburan sekolah, entah ketika pertengahan tahun atau akhir tahun. Direncanakan satu minggu sebelum perpulangan, dengan rencana yang terbilang cukup matang di umur anak SMA. Mulai dari tujuan, kendaraan, berapa lokasi, hingga uang yang harus disiapkan. Kegiatan tersebut telah terlaksana semenjak saya duduk di bangku kelas satu SMA hingga kelas 3 SMA. Mulai dari eksplore wilayah Banten, hingga yang terjauh yakni ke Curug Cikaso, Sukabumi. Perjalanan yang cukup membuat pantat tepos dan lelah berkepanjangan, namun disuguhkan dengan keindahan yang luar biasa, seketika hilang lelah saya dan teman-teman.

Kepada anda, yang sering mengeluh pusing dan penat, saya sarankan untuk rehat sejenak dari rutinitasnya. Alam Indonesia sangat luas banget kok, di era modern ini, kalian bisa akses dengan sangat mudah dan tinggal memilih kok. Siapkan waktu, serta dana untuk menunjang semua itu. Allah selalu berikan pilihan. Kalau saja kesempatan itu Allah cabut, kalian bisa saja malah nambah kebingungan. Namun tak usah terburu-buru juga untuk langsung healing. Pastikan semuanya siap. Percayalah Allah pun tau mana tempat yang dibutuhkan oleh hamba Nya. Bahkan yang tak trduga sekalipun.

 

Pipitan, 21 Juli 2023

 

 

 

 

Selasa, 20 Oktober 2020

KAJIAN FILM "DANUR 2: MADDAH

 

Nama              : Rofif Syuja’ Mu’tasyim

Kelas               : 526

MK                 :Kajian Film dan Sastra

DANUR 2: Maddah

Description: C:\Users\MARYATNO\Pictures\Danur2Maddah.jpg

Danur 2: Maddah merupakan film horror Indonesia yang merupakan lanjutan cerita dari film sebelumnya Danur: I Can See Ghosts. Film ini diadaptasi dari buku karya Risa Saraswati, Maddah.Danur 2: Maddah dibintangi oleh Prilly Latuconsina, Sandrinna Michelle, Kevin Bzezovski Taroreh, Matthew White, Justin Rossi, Shawn Adrian Khulafa, Sophia Latjuba, dan Bucek Depp. Film Danur 2: Maddah ini rillis tayang di bioskop Indonesia pada tanggal 28 Maret 2018. Disutradarai oleh Awi Suryadi, dan penulis skenarionya pun masih sama, yaitu Lele Laila.

 

 

Pada kuartal pertama tahun lalu, Danur yang diadaptasi dari buku bertajuk sama rekaan Risa Sarasvati dilepas ke jaringan-jaringan bioskop tanah air. Guliran kisah yang didasarkan pada pengalaman nyata Risa kala bersentuhan dengan dunia gaib tersebut, nyatanya berhasil mengumpulkan 2,7 juta penonton sekaligus membangkitkan kembali tren film horror di perfilman Indonesia. Tidak mengherankan sebetulnya mengingat materi sumbernya laris manis di pasaran, pelakon utamanya adalah Prilly Latuconsina yang telah membentuk basis penggemar cukup besar, dan film arahan Awi Suryadi ini sendiri tergolong memiliki teknis penggarapan cukup baik. Satu hal yang lantas membuat saya terganggu sehingga Danur tidak pernah benar-benar meninggalkan kesan mendalam adalah trik menakut-nakutinya yang kelewat receh. Penggunaan skoring musik dan kemunculan si hantu terasa serampangan yang justru bikin sebal alih-alih ketakutan. Pokoknya penonton kaget, maka sudah selesai perkara (duh!). Gagal memperoleh pengalaman menonton sesuai pengharapan inilah yang lantas membuat saya kurang bersemangat untuk menonton jilid keduanya yang bertajuk Danur 2: Maddah. Namun rasa penasaran yang telah meredup itu perlahan mulai bangkit usai menengok materi promosinya yang tampak menjanjikan sampai-sampai satu pertanyaan pun terbentuk: apa mungkin si pembuat film telah belajar dari kesalahan sehingga sekuelnya ini mampu tersaji lebih baik? 

 

Dalam Danur 2: Maddah, teror yang dialami oleh Risa (Prilly Latuconsina) tidak lagi berlangsung di rumah sang nenek yang kini dikisahkan telah berpulang ke Yang Maha Satu. Kali ini, Risa mencium bau danur tatkala bertandang ke rumah Tante Tina (Sophia Latjuba) dan Om Ahmad (Bucek) yang dikisahkan baru saja pindah ke Bandung. Semenjak kedua orang tuanya dinas ke luar negeri, Risa beserta adiknya, Riri (Sandrinna Michelle Skornicki), memang kerap mampir ke rumah kerabat mereka ini demi membunuh sepi. Yaaa, sekalian hitung-hitung menjaga tali silaturahmi. Namun ketenangan Risa mulai terusik tatkala sepupunya, Angki (Shawn Adrian), menaruh kecurigaan ada sesuatu yang tidak beres di rumah mereka apalagi ayahnya mulai bertingkah tidak wajar termasuk menanam bunga sedap malam di pekarangan rumah. Risa bisa merasakan itu, tapi anehnya, dia tidak bisa melihat apapun. Justru dia melihat Om Ahmad pergi berduaan bersama perempuan lain. Siapa dia? Apa dia ada keterkaitannya dengan semua keanehan yang terjadi di rumah? Benarkah Om Ahmad selingkuh? Demi mengetahui kebenaran di baliknya, Risa pun mulai mengorek informasi mengenai si perempuan misterius ini. Akan tetapi upayanya untuk mendapatkan informasi senantiasa mengalami hambatan karena sebuah kekuatan jahat yang entah darimana asalnya tiba-tiba memancar kuat di rumah kerabatnya ini dan tidak segan-segan melukai para penghuni rumah.

Menjawab pertanyaan yang tertinggal di penghujung paragraf pertama, saya bisa mengatakan bahwa Danur 2: Maddah adalah sebuah sekuel yang baik. Tidak ada tipu-tipu dalam materi promosinya. Dibandingkan dengan instalmen pertama yang terbilang berisik namun hampa, seri kedua ini mempunyai daya cekam yang lebih kuat. Kentara terlihat, si pembuat film telah mempelajari kesalahan-kesalahan apa saja yang telah mereka perbuat dari film terdahulu dan berusaha untuk memperbaikinya di sini. Ucapkan selamat tinggal kepada iringan musik yang memekakkan telinga serta hantu banci tampil yang tiap beberapa detik sekali memberi ‘cilukba’ kepada penonton. Sekali ini, Awi Suryadi menunjukkan sensitivitasnya dalam menangani film horor dengan lebih bersabar dalam membangun teror setapak demi setapak (bukan lagi asal ‘jrengggg!’ tanpa relevansi yang jelas) dan banyak mengandalkan atmosfer yang mengusik rasa nyaman. Pilihan ini mungkin akan terasa asing bagi penonton yang doyan dikageti dengan bejibun penampakan sekalipun tanpa makna, namun pilihan ini harus diakui tepat karena sejumlah jump scare di Danur 2: Maddah justru terasa cukup efektif. Memang sih tak sepenuhnya mulus, ada beberapa yang kemunculannya kurang diperlukan kecuali semata-mata demi membuat penonton terlonjak dari kursi bioskop – tapi paling tidak, terornya tak sampai kelewat repetitif dan berakhir menggelikan seperti film pertama yang seketika meruntuhkan rasa takut. 

 

Danur 2: Maddah juga memiliki satu dua adegan yang menggoreskan kesan baik seusai menontonnya di layar lebar. Salah satu paling membekas adalah sesosok hantu perempuan yang bersuka cita mengikuti lantunan dzikir Tante Tina. Ngeri nggak sih bayangin kita lagi berdzikir lalu di depan kita ternyata ada makhluk halus yang bergoyang-goyang mendengar dzikir kita? Kalau bagi saya sih serem banget, karena mampu membuat orang yang dzikir akan teringat dengan hal demikian. Kemampuan Awi dalam menciptakan rasa ngeri ini mendapat sokongan bagus dari sinematografi yang menimbulkan nuansa “ada sesuatu tak beres di sekitarmu”, rias wajah yang membuat kita enggan berlama-lama menatap wajah si hantu, dan performa ciamik dari Prilly Latuconsina yang kian menegaskan bahwa dia adalah salah satu aktris muda berbakat saat ini. Di tangannya, kita mampu merasakan kegundahan hati Risa lalu menyematkan setitik simpati kepada karakternya. Yang kemudian menghalangi Prilly untuk berkembang lebih jauh dan menghalangi pula kengerian untuk mencapai level maksimal adalah naskah yang sungguh tipis. Karakterisasi untuk Risa, Riri, Tante Tina, Om Ahmad, Angki, apalagi hantu-hantu sahabat Risa (masih dibuat bertanya-tanya dengan kontribusi mereka pada penceritaan), berjalan di tempat dan cenderung ‘satu nada’. Kita tidak pernah benar-benar mengenal mereka maupun membentuk ikatan emosi dengan mereka. Maka ketika satu dua karakter tertimpa bencana, rasa was-was urung hadir yang sedikit banyak menurunkan intensitas. Andai saja Danur 2: Maddah ini berkenan memperhatikan sisi naskah lebih mendalam lagi – tak sebatas trik menakut-nakuti sekalipun ini perlu juga – bukan tidak mungkin film akan tersaji lebih mencengkram dan mencekam karena potensinya sendiri terpampang nyata.

Ketika kita mendengar judul film horror, tentunya kita akan bertanya, karena sedikit asing dengan bahasa tersebut. Apasih itu Danur? Dan apa arti dari Maddah? Pertanyaan seperti itu sempat terlintas di benak saya dan semakin membuat para penonton makin penasaran.  Danur dikenal sebagai cairan yang  keluar dari mayat yang membusuk. Sedangkan Maddah artinya adalah “dibaca lebih dalam” atau memliki arti yang panjang. Jika dilihat dari trailer film tersebut. Risa memasuki kamar mayat dan berdialog dengan penjaga kamar tersebut, dan berdialog “ini bau danur, tapi sepertinya kau sudah taka sing lagi”. Ucap wanita penjaga kamar mayat tersebut.

 

 

MAKALAH CAMPUR KODE

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Bahasa merupakan wahana komunikasi yang sangat penting keberadaanya di tengah-tengah masyarakat. Tanpak adanya bahasa, maka tidak akan terjadi interaksi dalam kehidupan. Dalam proses komunkasi harus ada tiga komponen, yaitu (1) pihak berkomunikasi yakni penerima dan pengirim pesan yang lazim disebut partisipan, (2) informasi yang dikomunikasikan, dan (3) alat komunikasi yang digunakan dalam komunikasi, (Chaer dan Agustina, 2004: 17). Bahasa sebagai media komunikasi bersumber dari komunikasi pemakainnya, kemudian dipelihara dan dikembangkannya.
Di Indonesia, komunitas pemakai bahasa sangatlah banyak dan beraneka ragam karena teridiri dari suku-suku bangsa yang berbeda-beda. Sehingga dapat dikatakan bahwa selain mampu menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, juga mampu menggunakan bahasa ibunya/bahasa kedua dengan baik. Selain itu, faktor sejarah dan perkembangan masyarakat turut pula berpengaruh pada timbulnya sejumlah ragam bahasa Indoensia (Alwi, 2003:3).

Kemampuan menggunakan dua bahasa atau yang disebut blingual dapat mendorong pemakain bahasa yang berbeda secara bersamaan. Suatu keadaan berbahasa seperti ini, bilamana orang mencampur bahasa dua atau lebih tanpak ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam hal demikian, hanya kesantain penutur dan/atau kebiasaanya yang dituruti. Tindakan bahasa yang demikian kita sebut campur kode (Nabban,1991:32).

Rumusan Masalah

1.      Jelaskan Konsep Campur Kode

2.      Wujud Campur Kode

3.      Menyebutkan Tipe Campur Kode

4.      Faktor Penyebab Campur Kode

Tujuan Penelitian

1.      Untuk dapat mengetahui konsep campur kode, wujud, tipe, serta faktor penyebab campur kode

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Konsep Campur Kode

Campur kode merupakan situasi pengguanaan suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai pencampuran bahasa. Campur kode dapat juga dinyatakan pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian bahasa dalam suatu situasi tertentu. Berdasarkan KBBI (2005:190) “Campur kode merupakan penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, pemakaian kata, klausa, idiom, dan sapaan.” Berdasarkan konsep tersebut dapat dinyatakan bahwa campur kode merupakan peristiwa pencampuran bahasa pada situasi atau konteks tertentu. Pencampuran bahasa tersebut bertujuan memberikan pemahaman yang lebih jelas terhadap konteks atau maksud yang ingin disampaiakn dalam pembicaraan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa campur kode menitikberatkan pada penggunaan atau pemakaian satuan bahasa ke dalam bahasa lain berdasarkan situasi tertentu dan bertujuan memperluas gaya atau memperindah situasi tutur.

            Menurut Nababan (1986:32) “Campur bahasa merupakan mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindakan bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam keadaan yang demikian, hanya kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang dituruti.” Berdasarkan peryataan tersebut dapat dinyatakan bahwa pencampuran bahasa tidak dipengaruhi oleh situasi berbahasa. Hal ini tidak sejalan dengan konsep campur kode yang ada dalam KBBI yang telah dikemukakan. Berdasarkan konsep Nababan mengenai campur kode, situasi tutur tidak berperan penting dalam mempengaruhi campur tutur. Justru kesantaian dan kebiasaanlah yang menentukan atau mempengaruhi seseorang dalam melakukan campur kode. Auzar dan Hermandra (2006:49) memperjelas bahwa campur kode adalah kegiatan mencampur dua bahasa atau lebih dalam suatu tindakan berbahasa.

Nababan (1986:32), ciri yang menonjol dalam peristiwa campur kode adalah kesantaian atau situasi informal. Jadi, campur kode umumnya terjadi saat berbicara santai, sedangkan pada situasi formal hal ini jarang sekali terjadi. Apabila dalam situasi formal terjadi campur kode, hal ini disebabkan tidak adanya istilah yang merajuk pada konsep yang dimaksud. Seperti telah disebutkan bahwa kode dapat berupa idiolek, dialek, register, tindak tutur, ragam, dan registrasi, maka unsur-unsur yang bercampur pun dapat berupa varian bahasa maupun bahasa itu sendiri. Selanjutnya, Chaer dan Agustina  (1995:152) menyatakan konsep campur kode, “Apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hyibrid clauses hybrid pharases), dan masing-masing klausa atau frase tidak lagi menduduki fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah camur kode.”

Berdasarkan beberapa konsep mengenai campur bahasa dapat dapat dinyatakan membali bahwa campur kode merupakan penggunaan atau pemakaian dua bahasa atau lebih dalam situasi tertentu. Pemakaian dua bahasa atau lebih ini dapat berwujud kata, frase, klausa, ungkapan, dan idiom. Pemakaian hal-hal tersebut bertujuan menimbulkan gaya terhadap sebuah tuturan.  Gaya atau cara yang digunakan dihubungkan dengan wujud campur kode, dan membatasi wujud campur kode tersebut terhadap situasi dan tidak lagi menduduki fungsi-fungsi sendiri.

B.     Wujud Campur Kode

Dalam berkomunikasi, seringkali penutur menggunakan dua bahasa (campur kode). Campur kode yang digunakan dapat berupa penyisipan kata, frasa, atau klausa. Contoh campur kode yang digunakan guru dalam proses belajar mengajar adalah ”Sekarang kita ulangan bahasa Indonesia, ulangan kita sekarang open book, jadi kalian boleh melihat buku catatan atau buku paket”. Open book adalah bahasa Inggris yang artinya sistem ujian yang boleh melihat buku catatan atau buku paket.

C.    Tipe Campur Kode

Campur kode diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu, campur kode bersifat ke dalam (intern) dan campur kode bersifat keluar (ekstern) (Suwito, 1985:76). Dikatakan campur kode ke dalam (intern) apabila antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran masih mempunyai hubungan kekerabatan secara geografis maupun secara geanologis, bahasa yang satu dengan bahasa yang lain merupakan bagian-bagian sehingga hubungan antarbahasa ini bersifat vertikal. Bahasa yang terlibat dalam campur kode intern umumnya masih dalam satu wilayah politis yang berbeda.Contoh campur kode ke dalam (intern) dalam dialog sebagai berikut :(1)

 

“Nanti masnya matur dulu aja ke orangtua, kalo biayanya kurang lebih Rp. 300.000”.

 

Kata matur pada teks (1) adalah bentuk campur kode, penggunaan kata matur sebenarnya bisa dihindari sebab kata tersebut sudah ada padanannyadalam bahasa Indonesia, penggunaan kata matur sesuai dengan budaya yang berlaku didaerah tempat tuturan terjadi. Kata matur menunjukan perwujudan kedaerahan yaitu Jawa. Bahasa Jawa adalah bahasa yang hidup dalam wilayah politik sama dengan bahasa Indonesia, Bahasa Jawa juga memiliki hubungan genetis dengan bahasa Indonesia. Dengan demikian terbukti bahwa data tersebut adalah campur kode intern atau ke dalam.

Dikatakan campur kode ekstern apabila antara bahasa sumber dengan bahasasasaran tidak mempunyai hubungan kekerabatan, secara geografis, geanologis atau pun secara politis. Campur kode ekstern ini terjadi diantaranya karena kemampuan intelektualitas yang tinggi, memancarkan nilai moderat. Dengan demikian, hubungan campur kode tipe ini adalah keasingan antarbahasa yang terlibat.Contoh campur kode ekstern dalam dialog berikut.

“Data-data yang ada di phone memory kemungkinan akan hilang seperti nomor-nomor telepon, pesan, kalender dan catatan”.

Kata phone memory dalam teks berasal dari bahasa Inggris, bahasa Inggris tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan bahasa Indonesia, antara kedua bahasatersebut juga tidak ada hubungan genetis oleh sebab itu maka tipe campur kode pada kata tersebut adalah tipe campur kode keluar atau ekstern

D.    Faktor Penyebab Campur Kode

Campur kode (code mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan untuk mendukung suatu tuturan yang disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Gejala campur kode ini biasanya terkait dengan karakteristik penutur, misal, latar belakang sosil, pendidikan, dan kepercayaan. Setidaknya ada dua hal yang paling melatarbelakangi penggunaan campur kode. Faktor pendorong terjadinya campur kode oleh Suwito (dalam Maulidini, 2007:37-43) dapat dibedakan atas latar belakang sikap (atitudinal type) atau nonkebahasaan dan latar belakang kebahasaan (linguistic type)

 

·         Faktor  Nonkebahasaan (atitudinal type)

1.      Need for Synonim maksudnya adalah penutur menggunakan bahasa lain untuk lebih memperhalus maksud tuturan.

Contohnya sebagai berikut:

 CS : ”Hpnya blackmarket jadi tidak diperjualbelikan di Indonesia. Kalau di service selain datanya hilang ada resiko terburuk mati total, gimana?”

Blackmarket di sini sengaja digunakan oleh penutur untuk memberitahukan pada pelanggan bahwa hp tersebut termasuk dalam kategori hp selundupan.

2.      Social Value,yaitu penutur sengaja mengambil kata dari bahasa lain dengan mempertimbangkan faktor sosial.

Pada kasus disini penutur cenderung bercampur kode dengan bahasa asing yaitu bahasa Inggris dengan maksud menunjukan bahwa penutur merupakan seorang yang berpendidikan dan modern sehingga dalam berkomunikasi dengan pelanggan banyak menyisipkan kata atau istilah dalam bahasa asing.

Falah         : “Mbak saya mau complain, Mbak gimana sih, data saya kok jadi hilang. Mbak tahu berapa banyak nomor-nomor penting di hp saya?”

CS : ”Maaf Bapak, diawal persetujuan service kemarin saya sudahkatakan bahwa kehilangan bukan menjadi tanggungjawab kami.Dan kemarin Bapak sudah menyetujui dan membubuhkan tandatangan diformrepairorder” ( sambil menunjukan bukti tandatangan)

3.      Perkembangan dan Perkenalan dengan Budaya Baru

Hal ini turut menjadifaktor pendorong munculnya campur kode oleh penutur, sebab terdapat banyak istilah dan strategi penjualan dalam bidang telekomunikasi yangmempergunakan bahasa asing. Sehingga hal ini mempengaruhi prilaku pemakaian kata-kata bahasa asing oleh penutur yang sebenarnya bukanmerupakan bahasa asli penutur.

CS : ” Maaf Bu, memorycardnya dibawa?”

CP :” Kan, saya tinggal disini kemarin, mbak”. 

CS:”Ibu, diformulir servicenya dituliskan bahwa semua kelengkapan hpnya tidak ditinggal.

 

·         Faktor Kebahasaan (linguistic type)

Latar belakang kebahasaan yang menyebabkan seseorang melakukancampur kode disebabkan oleh hal-hal berikut ini :

1.      Low frequency of word,yaitu karena kata-kata dalam bahasa asing tersebut lebih mudah diingat dan lebih stabil maknanya.Contohnya adalah pada dialog:

CS :    “Kita disini menyediakan handset original untuk hp mas supayamenghasilkan suara jernih dan bagus.”

2.      Pernicious Homonimy, maksudnya adalah jika penutur menggunakankata dari bahasanya sendiri maka kata tersebut dapat menimbulkan masalah homonim yaitu makna ambigu. Contohnya dalam dialogberikut:

CS :    “Untuk  speakernya Ibu sudah kami urgentkan dipusat mudah-mudahan dalam minggu ini sudah datang dan hpnya bisa segera kami perbaiki.”

3.      Oversight, yaitu keterbatasan kata-kata yang dimiliki oleh bahasapenutur.

Banyaknya istilah dalam bidang telekomunikasi yang berasaldari bahasa asing menyebabkan penutur sulit menemukan padanannyadalam bahasa penutur. Contohnya: software, install, flash, restart, hang,blank 

4.      End (Purpose and Goal), yaitu akibat atau hasil yang dikehendaki.

 End (tujuan) meliputi membujuk, dengan meyakinkan, menerangkan. Untuk mencapai hasil tersebebut penutur harus menggunakan campur kode. Halini dapat dilihat pada beberapa contoh berikut:

CS : “Maaf Ibu ,untuk charger tidak bisa diservice, tapi kalo selama 6bulan dari tanggal pembelian dapat direplace tapi kita kirim ke jakarta, diganti charger baru .”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Simpulan

Campur kode merupakan situasi pengguanaan suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai pencampuran bahasa. Campur kode dapat juga dinyatakan pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian bahasa dalam suatu situasi tertentu. Dalam berkomunikasi, seringkali penutur menggunakan dua bahasa (campur kode). Campur kode yang digunakan dapat berupa penyisipan kata, frasa, atau klausa.

      Campur kode diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu, campur kode bersifat ke dalam (intern) dan campur kode bersifat keluar (ekstern) (Suwito, 1985:76). Dikatakan campur kode ke dalam (intern) apabila antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran masih mempunyai hubungan kekerabatan secara geografis maupun secara geanologis, bahasa yang satu dengan bahasa yang lain merupakan bagian-bagian sehingga hubungan antarbahasa ini bersifat vertikal. Campur kode (code mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan untuk mendukung suatu tuturan yang disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Gejala campur kode ini biasanya terkait dengan karakteristik penutur, misal, latar belakang sosil, pendidikan, dan kepercayaan.

B.     Saran

Saran penulis dalam makalah ini adalah agar pembaca senantiasa memperbanyak membaca dan memperdalam lagi untuk mencari informasi lebih mengenai makalah ini. Karena, penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak kekurangan dari segi penulisan maupun materi.

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Auzar dan Hermandra. 2007. Sosiolinguistik. Pekanbaru: Cendikia Insani.

 

Alwi, Hasan dkk. 2005. Kamusbesar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

 

Chair, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Renika Cipta

 

Maulidini, Ratna. 2007. Campur kode sebagai strategi komunikasi Customer service: Studi Kasus Nokia Care Centre Bimasakti Semarang ( Skripsi). Semarang: Fakultas Sastra Universitas Diponegoro.

Nababan, PWJ. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.

Sumber Internet:

Asnawi, 2011. Campur Kode. (online).

http://as-nawi.blogspot.com/2011/12/campur-kode.html diakses pada 14 Mei 2019

 

 

 

SEMIOTIKA CHARLES PIERCE

 

MAKALAH

SEMIOTIKA CHARLES PIERCE

Makalah ini diajukan sebagai tugas Mata kuliah Semiotik Sastra

Dosen Pengampu:

Zaky Mubarok

Ruang: V.526

Disusun Oleh:

Rofif Syuja’ Mu’tasyim

M. Pilos Yaprilsen

Fadel Muhammad Sofyan

 

 

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS PAMULANG

2019

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan karunia Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah hingga selesai. Tidak lupa penulis juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan materi maupun pikirannya.

Harapan penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca mengenai Semiotika Charles Pierce. untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penulis, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

 

 

Pamulang, 25 Maret 2019

 

  Penulis

 

 

 

 

 

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR                                                                                              i

DAFTAR ISI                                                                                                              ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang                                                                                               

1.2  Rumusan Masalah                                                                                          

1.3  Tujuan Penulisan                                                                                            

1.4  Manfaat  Penulisan                                                                                        

BAB II PEMBAHASAN

2.1  Pengertian  Semiotik                                                                                      

2.2  Teori Semiotiks Menurut Charles Pierce                                                        

2.3  Biografi Charles Pierce                                                                                  

BAB III PENUTUP

A.    Simpulan                                                                                                        

B.     Saran                                                                                                              

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ii

BAB I

PENDAHULAN

1.1  Latar Belakang

Dalam proses komunikasi secara primer, lambang atau  simbol digunakan sebagai media dalam penyampaian gagasan atau perasaan seseorang kepada orang lain. Lambang di dalam proses komunikasi meliputi bahasa, gestur, isyarat, gambar, warna, dan tanda-tanda lainnya yang dapat menerjemahkan suatu gagasan atau perasaan seeorang (komunikator) kepada orang lain (komunikasi) secara langsung. Dari berbagai lambang yang dapat digunakan di dalam proses komunikasi, bahasa merupakan media yang paling banyak dipakai karena paling memungkinkan untuk menjelaskan pemikiran seseorang, dan dengan bahasa pula segala kejadian masa lalu, masa kini, maupun ramalan masa depan dapat dijelaskan.

Fungsi bahasa yang sedemikian rupa menyebabkan ilmu pengetahuan dapat berkembang dan hanya dengan kemampuan berbahasa, manusia dapat mempelajari ilmu pengetahuan. Kegagalan dalam proses komunikasi banyak disebabkan oleh kesalahan berbahasa atau ketidakmampuan memahami bahasa.

Semiotik merupakan ilmu atau metode ilmiah untuk melakukan analisis terhadap tanda dan segala hal yang berhubungan dengan tanda. Tanda merupakan bagian yang penting dari bahasa, karena bahasa itu sendiri terdiri dari kumpulan lambang-lambang , dimana dalam lambang-lambang itu terdapat tanda-tanda. Oleh karenanya tentu ada kaitan yang erat antara semiotika dengan proses komunikasi, mengingat semiotika merupakan unsur pembangun bahasa dan bahasa merupakan media dalam proses komunikasi. Pentingnya semiotika dalam komunikasi mendorong para ahli dan ilmuan semiotik untuk merumuskan berbagai macam teori semiotika. Teori-teori tersebut teruss berkembang dan saling melengkapi.

Menurut Barthes, bahasa berpengaruh dalam semua aspek kehidupan dan ia boleh ditinjau melalui karya-karya yang terhasil. Karya merupakan cerminan realiti sebenar yang diungkap dala bentuk tulisan.

Menurut Mana Sikana (1985: 175), pendekatan semiotik melihat karya sastra sebagai satu sistem yang mempunyai hubungan dengan teknik dan mekanisme penciptaan sebuah karya. Ia juga memberi tumpuan kepada penelitian dari sudut ekspresi dan komunikasi.

Semiotik adalah sebuah disiplin ilmu sains umm yang mengkaji sistem perlambangan di setiap bidang kehidupan. Ia bukan saja merangkumi sistem bahasa, tetapi juga merangkumi lukisan, ukiran, fotografi maupun pementasan drama atau wayang gambar.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 Pengertian Semiotika

Semiotika adalah kajian ilmu mengenai tanda yang ada dalam kehidupan manusia serta makna dibalik tanda tersebut. Ada beberapa pendapat mengenai asal kata semiotika yang keduanya dari bahasa Yunani, pertama adalah seme yang berarti “penafsiran tanda”, sedangkan yang kedua adalah semeion yang berarti “tanda”. Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993:1). Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan, sebagai tanda.[1] tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanyahal lain.

Ahli sastra Teew (1984:6[2]. Mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komnikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun. Semiotik merupakan cabang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.

 

 

 

 

 

 

2.2 Teori Semiotika Menurut Charles Sanders Peirce 

Pendekatan tanda yang didasarkan pada pandangan seorang filsuf dan pemikir Amerika yang cerdas, Charles Sanders Peirce (1839-1914). Peirce (Berger, 2000 b:14, dalam Sobur, 2006:34-35) menandaskan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Ia menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan sebab akibat, dan simbol untuk asosiasi konvensional.

Tabel berikut ini bisa memperjelas hubungan tanda-tanda:

 

Tanda

Ikon

Indeks

Simbol

 

 

 

 

Ditandai dengan:

Persamaan (kesamaan)

Hubungan sebab-akibat

Konvensi

Contoh:

Gambar-gambar,Patung-patung, Tokoh besar

Asap/Api,Gejala/penyakit, Bercak merah/campak

Kata-kata, Isyarat

Proses

Dapat dilihat

Dapat diperkirakan

Harus dipelajari

Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya:

1.      Dengan mengikuti sifat objeknya, ketika menyebut tanda sebuah ikon.

2.      Menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika menyebut tanda sebuah indeks.

3.      Kurang lebih, perkiraan yang pasti bahwa hal itu diintrepretasikan sebagai objek denotatif sebagai akibat dari suatu kebiasaan ketika menyebut tanda sebuah simbol.

 

 

Peirce (Pateda, 2001:44, dalam Sobur, 2006:41) mengadakan klasifikasi tanda-tanda yang dikaitkan dengan ground (sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi) diklasifikasikan menjadi:
a.Qualisign

Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, keras, lemah, lembut, merdu.

b. Sinsign

Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda, misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai.

c. Legisign

Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia.

Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas:
1.Ikon

Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan, misalnya, potret dan peta.
2. Indeks

Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Contoh yang paling jelas ialah asap sebagai tanda adanya api.

 

 


3. Simbol

Simbol adalah tanda yang menunjukan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungan di antaranya bersifat arbiter, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.

Memahami teori semiotika Charles Sanders Peirce yang diuraikan di atas, maka penelitian iklan susu bubuk Milo pada media cetak khususnya majalah Bobo akan lebih memfokuskan pada teori tersebut, karena teori semiotika yang di paparkan oleh Charles Sanders Peirce memiliki makna yang terkandung terhadap sifat objek nya.

Dalam teori ini ditemukan bahwa ada keterkaitan atau hubungan antara tanda-tanda yang satu dengan yang lainnya, sehingga banyak mengandung makna dalam tanda-tanda suatu objek yang diteliti.Teori ini dapat menguraikan makna yang terdapat dalam tanda suatu objek, baik itu dari ikon, indeks, maupun simbol.

Dengan demikian uraian teori di atas sangat membantu dalam menganalisa suatu relasi tanda dengan elemen-elemen visual lainnya dan pesan komunikasi yang terkandung dalam iklan susu bubuk Milo pada media cetak khususnya majalah Bobo. Karena dalam iklan susu bubuk Milo dengan kategori yang berbeda banyak menampilkan visualisasi yang menarik untuk diteliti dengan teori tersebut sehingga makna yang terkandung dalam visualisasi tersebut dapat diketahui.

2.3  Biografi Charles Pierce

Charles Sanders Pierce lahir pada 10 September 1839 di Cambridge, Massachusetts, dan meninggal 19 April, 1914 di Milford, Pennsylvania. Dia adalah seorang ahli logika, filsuf, dan ilmuwan. Sebagai putra Benjamin Charles Sanders Peirce, seorang ilmuwan terkemuka dan guru besar matematika di Harvard, Charles Sanders Peirce dibesarkan di lingkungan keluarga intelektual. Di bawah bimbingan dan pendidikan ayahnya,  pada usianya yang baru menginjak dua belas tahun ia telah tertarik dengan logika.

            Pada tahun 1855, Charles Sanders Peirce memulai studinya di Harvard. Di sana ia memulai persahabatan seumur hidup dengan filsuf dan psikolog William James, yang sangat mendukung dia dalam sebagian besar hidupnya. Selama tahun pertama, Charles Sanders Peirce melakukan penelitian pribadi dalam filsafat, terutama berfokus pada Kant. Ia lulus pada tahun 1859 dan kemudian melanjutkan studinya untuk mengejar Master, dan ia memperoleh gelar MA dari Harvard pada 1862. Empat tahun kemudian, ia juga memperoleh gelar Bachelors of Science, summa cum laude, dalam ilmu kimia.

            Dari 1859 sampai 1891, Charles Sanders Peirce bekerja sebagai ilmuwan untuk United States Coast dan Geodetic Survey, sambil melanjutkan studinya dalam logika. Selama masa kerjanya di Survey tersebut, Charles Sanders Peirce dikirim ke Eropa pada 1870-1871 untuk bekerja, dan sekali lagi pada tahun 1875-1876 dan 1877. Dia juga bekerja sebagai asisten di observatorium astronomi di Harvard, antara tahun 1869 dan 1872. Hasilnya, ia menerbitkan Photometric Research (1878), yang ternyata menjadi satu-satunya bukunya yang diterbitkan selama hidupnya.

            Pada tahun 1867, ia menjadi anggota The Academy of Arts dan sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1877, menjadi anggota National Academy of Sciences. Dia diangkat menjadi dosen dalam ilmu logika di Universitas Johns Hopkins di 1879. Dia dipecat dari jabatannya beberapa tahun kemudian, di 1884, seperti yang diumumkan, ia menempuh kehidupan “gipsi “meskipun masih menikah. Dari kuliahnya itu, Charles Sanders Peirce mengedit Studies in Logic  (1883), koleksi esai para ilmuwan dan mahasiswanya.

            Masih bekerja untuk Survey, Charles Sanders Peirce tinggal di Washington selama dua tahun setelah pemecatannya. Pada tahun 1891, ia kemudian harus meninggalkan U.S. Coast Survey. Setelah keluar, Charles Sanders Peirce membeli rumah dan properti di Milford, Pennsylvania, di mana dia tinggal sampai kematiannya. Inilah waktunya ketika ia didera  kemiskinan yang mengenaskan. Charles Sanders Peirce tergantung pada bantuan keuangan orang lain dan tidak memiliki penghasilan lain selain  pekerjaan sporadis sebagai penerjemah dan konsultan ilmiah. William James tetap berkomitmen dan mencoba untuk membantu Charles Sanders Peirce. antara lain ia menyelenggarakan dua kuliah untuknya di Harvard agar ia memperoleh bayaran, dia juga mencari dukungan untuk Charles Sanders Peirce dari teman-temannya.

            Terlepas dari situasi keuangannya yang memprihatinkan, Pierce tetap produktif dalam menulis. Sepanjang hidupnya, Charles Sanders Peirce menerbitkan sejumlah besar artikel akademis dalam jurnal terkenal, seperti Proceeding American Academy of Arts and Sciences, atau American Journal of Matematics. Namun, banyak publikasi yang ditolak atau tidak pernah selesai. Reputasinya sebagai filsuf datang relatif terlambat.

            Menjadi seorang ahli kimia dengan pelatihan dan ahli geodesi melalu profesinya, Charles Sanders Peirce tetap dianggap sebagai filsuf ilmiah, terutama logika  sebagai keahliannya. Karya-karyanya yang paling terkenal adalah How to Make Our Ideas Clear, di mana ia mendirikan filsafat pragmatis, dan The Fixation of Belief, di mana ia membela metode ilmiah  yang baginya adalah satu-satunya cara, yang dengannya kemajuan menuju pengetahuan akan dapat dicapai. Keduanya diterbitkan dalam The Popular Science Monthly, serial  antara 1877 dan 1878.

           Meskipun minat utamanya adalah logika, dia terutama diakui sebagai pendiri mazhab pragmatisme, sebuah nama yang oleh Charles Sanders Peirce diubah menjadi “pragmaticism “pada tahun 1905 dalam rangka untuk memisahkan teori-teorinya. Charles Sanders Peirce pragmati(ci)sm didasarkan pada gagasan bahwa setiap konsep harus memiliki konsekuensi praktis dan dapat diamati, dengan asumsi bahwa nilai dari Konsep tergantung pada hasilnya. Akibatnya, salah satu kepentingan utamanya adalah untuk menunjukkan bagaimana filsafat dapat secara praktis diterapkan pada persoalan yang dihadapi manusia. Hal ini ia coba dengan menerapkan prinsip-prinsip ilmiah. Bagi Charles Sanders Peirce, filsafat harus didasarkan pada prinsip-prinsip matematika.

            Dalam karyanya How to Make Our Ideas Clear, Charles Sanders Peirce telah menegaskan demi sebuah  gagasan tentang konsep yang jelas membedakan antara tiga tingkat konsepsi. Sedangkan yang pertama terkait dengan keakraban dan bukti diri, kedua menganggap adanya hubungan antara realitas dan fiksi, yang berkaitan dengan sebuah penafsir. Tingkat ketiga berkaitan dengan konsepsi kita tentang efek, yang menyebabkan konsepsi kita terhadap sebuah object.

            Charles Sanders Peirce dikenal karena sering menggunakan angka tiga. Terlepas dari ilmu-ilmu (yang harus dibagi ke dalam ilmu-ilmu tentang penemuan, review, dan ilmu-ilmu praktis, dia membedakan antara tiga bentuk filsafat. Agar fenomenologi ini  sangat hirarkis (apa yang muncul : menyelidiki fenomena), ilmu normative (apa saja fenomena  norma-norma hubungan terhadap keindahan, kebaikan, dan kebenaran), dan metafisika (apa realitasnya terhadap fenomena). Bagi Charles Sanders Peirce, fenomenologi adalah cabang yang paling abstrak, sedangkan dua lainnya merupakan penerapan yang lebih konkret. Lebih lanjut, ia membedakan antara tiga unsur fenomenologi : firstness (kualitas ide-ide), secondness (eksistensi atau fakta), dan thirdness (pemahaman, atau tanda-tanda). Dia kemudian membagi ilmu pengetahuan normative menjadi estetika, etika, dan logika, dan metafisika menjadi metafisika umum  (ontologi), metafisika agama, dan metafisika fisik.

            Setelah menggeluti aljabar, grafik, problem empat warna dan sebagainya, Charles Sanders Peirce juga membuat beberapa penemuan penting dalam matematika, misalnya dalam “Logic of Relatives “(1870), di mana ia memperpanjang teori hubungan. “On the Algebra of Logic: A Contribution to the Philosophy of Notation “(1885) / “Di Aljabar Logika : Sebuah Kontribusi terhadap Filsafat Notasi “(1885) dikutip oleh Ernst Schröder yang dengannya Charles Sanders Peirce memiliki hubungan intensif. Pierce juga dianggap sebagai salah satu pendiri statistik. Sebagai seorang ilmuwan yang sangat inovatif dan kreatif, Charles Sanders Peirce memiliki pengaruh yang sangat besar dan luas terhadap  pemikir lain seperti Alfred North Whitehead, Karl Raimund Popper, Bertrand Russell, dan muridnya, John Dewey.

           Charles Sanders Peirce meninggal karena kanker pada tanggal 20 April 1914. Dia meninggalkan sejumlah besar karya dengan berbagai topic termasuk logika, matematika, geodesi, astronomi, fisika, filsafat, dan ekonomi. Di antara karya-karyanya yang paling penting mengenai  pragmatisme adalah What Pragmatism Is (1905), Issues of Pragmaticism (1905) Prolegomena To an Apology For Pragmaticism (1906). Di antara tulisannya yang terkenal adalah Grounds of Validity of the Laws of Logic: Further Consequences of Four Incapacities (1869), The Harvard lectures on British logicians (1869–70), Description of a Notation for the Logic of Relatives (1870) On the Algebra of Logic (1880). Karya filsafatnya yang lain adalah The Monist Metaphysical Series (1891–93) A Neglected Argument for the Reality of God (1908).

            Penelitian yang paling terkemuka mengenai Charles Sanders Peirce dilakukan oleh sejarawan Carolyn Eisele dan Max Fisch dan, dan pada tahun 1946, Charles Sanders Peirce Society didirikan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

3.1  Simpulan

Dari pemaparan makalah diatas dapat disimplkan bahwa:

Semiotik merupakan ilmu yang mengkaji tanda-tanda dalam kehidupan manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan manusia terdapat berbagai macam tanda yang perlu diartikan bahkan ditafssirkan dari suatu tanda. Charles Sanders Pierce merupakan salah satu tokoh semiotika yang sangat berpengaruh. Adapun teori semiotika Charles Sander  Pierce adalah tanda sebagai “sesuatu yang mewakili sesuatu”. Hingga pada akhirnya ia berkeyakinan bahwa manusia berfikir dalam tanda. Secara etimologi ia menyatakan bahwa “kita hanya berfikir dalam tanda”. Tanda selain simbol dengan logika tanda juga merpakan alat komnikasi. Dari sini Charles Sanders Pierce semakin yakin segala sesuatu adalah tanda.

3.2  Saran

Berdasarkan uraian di atas, penulis menganggap perlu menyampaikan saran. Penulis mengharapkan kepada pembaca untuk lebih memahami materi dalam makalah ini karena sangat berguna bagi mahasiswa yang mempelajari tentang Semiotika menurut Charles Pierce. Agar pembaca dapat mengetahui gambaran umum tentang Semiotika khususnya semiotika menurut Charles Pierce melalui pemaparan makalah ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

http://menurutahli.blogspot.com/2015/12/teori-semiotika-menurut-charles-sanders.html

https://pakarkomunikasi.com/teori-semiotika-charles-sanders-peirce

http://goedangbiografi.blogspot.com/2016/05/biografi-dan-pemikiran-charles-sanders.html

ulfahzakiyah.blogspot.com :2015/12